Rabu, 10 Mei 2017

CONTOH KASUS PELANGGARAN HUKUM PIDANA

1. Contoh Kausu Hukum Pidana “Pria Dibacok Lima Orang yang Mengaku dari Ormas”

JAKARTA, KOMPAS.com - Irfan Kurniawan (30) mengalami luka bacokan yang cukup parah setelah dikeroyok lima orang yang mengaku berasal dari organisasi kemasyarakatan tertentu. Warga Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan, itu pun harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. 
"Kejadiannya di perempatan DDN, Pondok Labu, tengah hari," kata Komisaris Nuredy Irwansyah, Kapolsek Metro Cilandak saat ditemui di Mapolres Metro Jakarta Selatan, Jumat (14/12/2012).                                                                                                                               Peristiwa tersebut berawal saat Irfan sedang mengatur lalu lintas yang macet di perempatan DDN. Tiba-tiba muncul rombongan pelaku yang mengendarai sepeda motor dan menyerobot jalur.                                                                                                                Melihat tingkah tersebut, Irfan langsung menegur salah seorang pelaku. Namun, teguran itu justru tidak diterima oleh pelaku yang langsung menghentikan kendaraannya. 
"Tegurannya dijawab dengan keras juga. Kata dia, kamu nggak tahu apa saya ini anggota ormas," kata Nuredy menirukan ucapan pelaku.                                                     Dibantu rekan-rekannya, pelaku lantas membacok korban dengan menggunakan senjata tajam jenis golok. Korban yang terluka parah di bagian tangan, kepala bagian belakang, dan punggung, kemudian dilarikan warga ke RS Marinir Cilandak untuk mendapat bantuan medis. 
Sementara itu, petugas kepolisian langsung melakukan pengejaran setelah mendapatkan keterangan dari beberapa saksi dari lokasi kejadian.

Analisa: 

Hukum pidana adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum.                                                Syarat suatu perbuatan atau peristiwa dikatan sebagai peristiwa pidana adalah:
a.       Ada perbuatan atau kegiatan.
b.      Perbuatan harus sesuai dengan apa yang dilukiskan/dirumuskan dalam ketentuan hukum.
c.       Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
d.      Harus berlawanan/bertentangan dengan hukum.
e.       Harus tersedia ancaman hukumnya.
Kasus diatas termasuk suatu peristiwa pidana karena kasus tersebut memenuhi syarat-syarat peristiwa pidana, dimana terjadi penganiayaan, pengeroyokan dan pembacokan terhadap Irfan oleh lima orang yang mengaku sebagai ormas tersebut. Ini dibuktikan dengan adanya laporan dari beberapa saksi di TKP yang langsung melaporkan kepada aparat kepolisian stempat. Disini jelas bahwa perbuatan kelima orang tersebut melanggar hukum, yakni pasal 351,354, dan 358 KUHP tentang Penganiayaan.
Kasus ini khususnya diatur dalam pasal 351 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah” dan “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Kemudian diatur juga dalam pasal 354 ayat 1 yang berbunyi: “Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”.
Dan untuk pengeroyokannya diatur dalam  pasal 358 (1) yang berbunyi: “Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam: dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat”.
Jadi untuk pelaku pembacokannya akan dikenai hukuman sesuai dengan pasal 351 ayat 1 dan 2, dan 354 ayat 1 KUHP, sedangakan teman-teman yang membantu orang yang membacoktersebut dikenai hukuman sesuai dengan pasal 351 ayat 1 dan pasal 358 KUHP.






DAFTAR PUSTAKA

More, Imanuel. 2012. Pria Dibacok Lima Orang yang Mengaku dari Ormas. (On-line), http://megapolitan.kompas.com/read/2012/12/14/19124863/Pria.Dibacok.Lima.Orang.yang.Mengaku.dari.Ormas , 9 MEI 2017 ( PUKUL  09.45)






2.CONTOH KASUS  PELANGGRAN HUKUM

Konsultan Bangkrut Cetak Uang Palsu
SEORANG konsultan diamankan petugas Polsek Parung karena diduga membuat uang palsu. HT (48) dan istrinya TW (39) diamankan, Rabu (19/10) petang saat akan membeli rokok menggunakan uang pecahan Rp 5.000 palsu di sebuah warung rokok di daerah Parung, Kabupaten Bogor.
Kepada Polisi, pria yang mengantungi gelar sarjana S2 itu dari salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta itu mengaku hanya iseng mencetak uang palsu menggunakan mesin printer. Dari tangan HT, Polisi menyita upal sebesar Rp 2,6 juta terdiri dari pecahan Rp 20 ribu 64 lembar, Rp 10 ribu, 10 lembar dan Rp 5 ribu sebanyak 257 lembar.
“Saya cuma mencetak uang palsu pecahan Rp 5 ribu, 20 ribu dan 10 ribu,” kata HT kepada wartawan.
Kapolsek Parung Komisaris Maksum Rosidi menjelaskan, HT dan istrinya diamankan setelah pihaknya mendapatkan laporan dari seorang pedagang rokok yang mendapatkan uang palsu dari pelaku.
“Kemudian kita langsung bergerak dan mengamankan keduanya,” ujar Maksum kepada wartawan di Mapolsek Parung, Kamis (20/10) siang.
Maksum menjelaskan, pihaknya kemudian mengembangkan kasus itu denga mengeledah rumah pelaku dan ditemukan Rp 2,6 juta upal berbagai pecahan.
HT, bapak dua anak menjelaskan, dirinya sedang dalam kondisi bangkrut pasca tidak lagi menjadi dosen serta serta sepinya order proyek sebagai konsultan. “Karena saya sedang jatuh, iseng-iseng saya cetak uang asli menggunakan printer dan hasilnya cukup mirip dengan aslinya,” katanya.
Untuk mencetak upal itu, dia hanya menggunakan kertas jenis HVS ukuran kuarto atau folio. HT mengaku sengaja hanya mencetak uang pecahan Rp 5 ribu, 10 ribu dan Rp 20 ribu karena hasil cetakannya mirip dengan aslinya.
“Satu kertas bisa mencetak enam lembar uang. Tinggal dipotong-potong pakai cutter,” katanya.
Menurutnya, aksinya ini baru dilakukan satu bulan terakhir.“Saya tidak punya niat untuk kaya dari cetak uang palsu. Saya hanya butuh uang untuk bisa makan dan beli rokok,” ucapnya.
Kapolsek Parung, Kompol Maksum Rosidi mengungkapkan, pelaku ditangkap berdasarkan laporan Uha Subagja dan Saeful Amir, pedagang rokok dipinggir jalan Parung.
“Saat beli rokok, dia meminta istrinya yang beli. Sementara dia berada di atas motor sewaan. Polisi yang tengah mengawasi lokasi, langsung menangkap keduanya saat Uha berteriak karena masih mengingat wajah pelaku pria,” kata Kapolsek.
Selain menyita upal, polisi juga menyita satu printer merek Canon yang dipakai untuk mencetak uang asli menjadi palsu, 6 bungkus rokok jarum Super, 2 bungkus rokok Djisamsoe dan 15 sachet kopi susu merek ABC. (wid)

Analisis :

Sesuai dengan kasus diatas, bahwa ternyata bukan hanya kemiskinan yang dapat menjadikan seseorang menjadi penjahat, tetapi juga karena faktor kekayaan. Kenapa demikian? Karena seseorang yang telah merasakan kekayaan tidak akan bisa hidup susah. Hal ini terbukti dengan contoh kasus yang terjadi diatas, yaitu seorang konsultan yang bangkrut melakukan pemalsuan uang. Tindakan tersebut ia lakukan karena untuk mendapatkan sesuap nasi dan sebungkus rokok. Tindak kejahatan yang ia lakukan ini didasari atas keisengan dan kebutuhan hidupnya dan keluarganya, karena ia dalam kondisi bangkrut pasca tidak lagi menjadi dosen dan sepinya order proyek sebagai konsultan. Atas tindak kejahatan yang dilakukannya ini maka ia dikenai pasal 244 KUHP tentang pemalsuan mata uang dan uang kertas dengan ancaman pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Tindakan yang dilakukan bapak konsultan tersebut memperburuk anggapan masyarakat kepadanya. Apalagi dia merupakan seorang sarjana yang terdidik secara akademik tentunya harus lebih bertindak terpuji dan dapat menjadi contoh bagi masyarakat awam bukan memberikan contoh yang tercela dan memalukan seperti pada contoh kasus diatas.





DAFTAR PUSTAKA

http://waspada.net/reports/view/659  ,( 8 MEI 2017 PUKUL  12.45 WIB)






3.CONTOH KASUS  PELANGGARAN  HUKUM  HAM

PENCURIAN

Liputan6.com, Parepare: Seorang remaja nekat mencuri telepon genggam milik penumpang kapal Pelni Binaiya di Pelabuhan Nusantara, Parepare, Sulawesi Selatan, Rabu (22/2). Faldi, yang berprofesi sebagai pedagang asongan, melarikan diri setelah aksinya diketahui warga.
Aksi kejar-kejaran terjadi. Sejumlah orang mengejar tersangka yang berlari ketakutan. Kepolisian Sektor Parepare berhasil menyelamatkan Faldi dari amuk massa.
Barang curian tersangka ditemukan di bawah kasur salah seorang penumpang kapal. Di hadapan polisi, tersangka mengaku mencuri untuk membayar uang sewa kontrakan. Faldi dijerat Pasal 362 KUHP tentang Pencurian dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.(WIL/ULF)
Analisis:
Setiap orang didunia ini pasti tidak ingin hidup dalam kesusahan atau kemiskinan. Setiap orang menginginkan hidup yang sejahtera dan makmur. Namun realita berkata lain, kemiskinan tetap melanda hingga saat ini. Sehingga menimbulkan faktor kejahatan didalam kehidupan masyarakat.
Hal ini sesuai dengan contoh diatas yaitu: seorang remaja yang berprofesi sebagai pedagang asongan melakukan pencurian telepon genggam milik penumpang kapal Pelni dikarenakan untuk membayar uang sewa kontrakan. Demi melangsungkan hidup, remaja tersebut rela melakukan tindakan tidak terpuji yaitu dengan mencuri. Sesuai dengan tindakannya tersebut maka remaja itu dijerat dengan pasal 362 tentang pencurian dengan ancaman paling lama lima tahun penjara atau pidana dengan denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Tindakan tersebut terjadi karena adanya kesempatan bagi si pelaku kejahatan, maka dari itu, kita harus lebih waspada.






DAFTAR PUSTAKA



  





4.CONTOH KASUS  PELANGGARAN  HUKUM

Tiga Buah Kakao Menyeret Minah ke Meja Hijau

KOMPAS.com — Inilah ironi di negeri ini. Koruptor yang makan uang rakyat bermiliar-miliar banyak yang lolos dari jeratan hukum. Tapi nenek Minah dari Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ini harus menghadapi masalah hukum hanya karena tiga biji kakao yang nilainya Rp 2.000.
Memang, sampai saat ini Minah (55) tidak harus mendekam di ruang tahanan. Sehari-hari ia masih bisa menghitung jejak kakinya sepanjang 3 km lebih dari rumahnya ke kebun untuk bekerja.
Ketika ditemui sepulang dari kebun, Rabu (18/11) kemarin, nenek tujuh cucu itu seolah tak gelisah, meskipun ancaman hukuman enam bulan penjara terus membayangi. “Tidak menyerah, tapi pasrah saja,” katanya. “Saya memang memetik buah kakao itu,” tambahnya.
Terhitung sejak 19 Oktober lalu, kasus pencurian kakao yang membelit nenek Minah itu telah ditangani pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto. Dia didakwa telah mengambil barang milik orang lain tanpa izin. Yakni memetik tiga buah kakao seberat 3 kg dari kebun milik PT Rumpun Sari Antan 4. Berapa kerugian atas pencurian itu? Rp 30.000 menurut jaksa, atau Rp 2.000 di pasaran!
Akibat perbuatannya itu, nenek Minah dijerat pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dengan ancaman hukuman enam bulan penjara. Karena ancaman hukumannya hanya enam bulan, Minah pun tak perlu ditahan.
Dalam surat pelimpahan berita acara pemeriksaan (BAP) yang dikeluarkan Kejari Purwokerto, Minah dinyatakan sebagai tahanan rumah. Saat ini, Minah sudah menjalani persidangan kedua di Pengadilan Negeri Purwokerto.
Kasus kriminal yang menjerat Aminah bermula dari keinginannya menambah bibit kakao di rumahnya pada bulan Agustus lalu. Dia mengaku sudah menanam 200 pohon kakao di kebunnya, tapi dia merasa jumlah itu masih kurang, dan ingin menambahnya sedikit lagi.
Karena hanya ingin menambah sedikit, dia memutuskan untuk mengambil buah kakao dari perkebunan kakao PT RSA 4 yang berdekatan dengan kebunnya. Ketika itu dia mengaku memetik tiga buah kakao matang, dan meninggalkannya di bawah pohon tersebut, karena akan memanen kedelai di kebunnya.
Tarno alias Nono, salah seorang mandor perkebunan PT RSA 4 yang sedang patroli kemudian mengambil ketiga buah kakao tersebut. Menurut Minah, saat itu Nono sempat bertanya kepada dirinya, siapa yang memetik ketiga buah kakao tersebut. “Lantas saya jawab, saya yang memetiknya untuk dijadikan bibit,” katanya.
Mendengar penjelasan tersebut, menurut Minah, Nono memperingatkannya bahwa kakao di perkebunan PT RSA 4 dilarang dipetik warga. Peringatan itu juga telah dipasang di depan jalan masuk kantor PT RSA 4, berupa petikan pasal 21 dan pasal 47 Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan. Kedua pasal itu antara lain menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh merusak kebun maupun menggunakan lahan kebun hingga menggangu produksi usaha perkebunen.
Minah yang buta huruf ini pun mengamininya dan meminta maaf kepada Nono, serta mempersilahkannya untuk membawa ketiga buah kakao itu. “Inggih dibeta mawon. Inyong ora ngerti, nyuwun ngapura,” tutur Minah menirukan permohonan maafnya kepada Nono, dengan meminta Nono untuk membawa ketiga buah kakao itu.
Ia tak pernah membayangkan kalau kesalahan kecil yang sudah dimintakan maaf itu ternyata berbuntut panjang, dan malah harus menyeretnya ke meja hijau.
Sekitar akhir bulan Agustus, Minah terkaget-kaget karena dipanggil pihak Kepolisian Sektor Ajibarang untuk dimintai keterangan terkait pemetikan tiga buah kakao tersebut. Bahkan pada pertengahan Oktober berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejari Purwokerto.
Melukai rasa keadilan
Amanah (70), salah seorang kakak Minah, mengaku prihatin dengan nasib adiknya. Apalagi penilaian jaksa yang disampaikan dalam dakwaan dinilainya berlebihan, terutama untuk nilai kerugian.
Menurut dia, satu kilogram kakao basah saat ini memang harganya sekitar Rp 7.500. Namun kategori kakao basah itu adalah biji kakao yang telah dikerok dari buahnya, bukan masih berada dalam buah. Namun di dalam dakwaan disebutkan nilai kerugiannya Rp 30.000, atau Rp 10.000 per biji.
Padahal, dari tiga buah kakao itu, kata Amanah, paling banyak didapat 3 ons biji kakao basah. Jika dijual harganya hanya sekitar Rp 2.000. “Orang yang korupsi miliaran dibiarkan saja. Tapi ini hanya memetik tiga buah kakao sampai dibuat berkepanjangan,” kata Amanah membandingkan apa yang dialami adiknya dengan berita-berita di tv yang sering dilihatnya.
Ahmad Firdaus, salah seorang anak Minah, mengatakan, keluarganya kini sangat mengharapkan adanya rasa keadilan dalam penyelesaian kasus orangtuanya. Menurutnya, hukum memang tak memiliki hati, tetapi otoritas yang memegang aturan hukum pasti memiliki hati. “Kami hanya berharap agar hakim dapat memberikan rasa keadilannya terhadap orang tua kami,” jelasnya.
Hari Kamis (19/11) ini, Minah akan hadir untuk membela dirinya, tanpa didampingi pengacara. Sejak pertama kali menjalani persidangan, dia mengaku, tak pernah didampingi pengacara. “Saya tidak tahu pengacara itu apa,” ucapnya.
Humas PN Purwokerto, Sudira, mengatakan, majelis hakim yang menangani kasus Minah dipastikan sudah menawarkan pengacara kepada Minah. “Hal itu sudah mutlak harus disampaikan hakim. Tapi kemungkinan Ibu Minah sendiri yang menolak,” katanya.
Terkait keadilan, Sudira mengatakan, akan sangat ditentukan oleh keputusan majelis hakim. Untuk itu, majelis hakim akan menimbang seluruh fakta persidangan. “Hasilnya, akan sangat bergantung pada pertimbangan majelis hakim,” katanya. Seluruh masyarakat tentunya sangat berharap rasa keadilan itu ada, dan Ibu Aminah bisa kembali bekerja di kebunnya… (Madina Nusrat)

Analisis :

Kemiskinan merupakan hal yang menakutkan bagi setiap orang. Karena kemiskinan dapat menjadi faktor pendorong bagi seseorang untuk melakukan tindak kejahatan. Seperti contoh kasus diatas, yaitu seorang nenek (Minah) memetik 3 biji kakao di perkebunan milik PT RSA tanpa izin dari petugas, selain itu pihak PT telah menetapkan larangan bahwa warga dilarang memetik kakao di atas tanah perkebunan tersebut, dikarenakan nenek Minah buta huruf maka ia tidak mengetahui mengenai larangan tersebut. Menurut saya pihak PT RSA terlalu cepat mengambil keputusan padahal nenek Minah sudah mengembalikan kakao tersebut, si nenek pun juga telah mengakui kesalahannya. Tanpa ada keraguan sedikitpun.
Namun sesuai dengan peraturan hukum yang tercantum dalam KUHP maka perbuatan yang dilakukan si nenek termasuk dalam pasal 362 tentang tindak pidana pencurian. Tetapi berlebihan jika masa ancaman pidana penjara enam bulan. Karena menurut saya hal itu bisa dibicarakan secara kekeluargaan. Mengapa demikian? Sebab si nenek telah mengakui kesalahan, ia juga tidak berusaha mengelak dan melarikan diri. Barang buktipun juga telah diambil oleh petugas PT tersebut. Saya merasa heran dengan peraturan hukum yang cenderung tumpul keatas dan tajam ke bawah.




DAFTAR PUSTAKA















Tidak ada komentar:

Posting Komentar