Tiga Buah Kakao Menyeret Minah ke Meja
Hijau
KOMPAS.com — Inilah ironi di
negeri ini. Koruptor yang makan uang rakyat bermiliar-miliar banyak yang lolos
dari jeratan hukum. Tapi nenek Minah dari Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan,
Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas ini harus menghadapi masalah hukum
hanya karena tiga biji kakao yang nilainya Rp 2.000.
Memang, sampai
saat ini Minah (55) tidak harus mendekam di ruang tahanan. Sehari-hari ia masih
bisa menghitung jejak kakinya sepanjang 3 km lebih dari rumahnya ke kebun untuk
bekerja.
Ketika ditemui sepulang dari kebun, Rabu
(18/11) kemarin, nenek tujuh cucu itu seolah tak gelisah, meskipun ancaman
hukuman enam bulan penjara terus membayangi. “Tidak menyerah, tapi pasrah
saja,” katanya. “Saya memang memetik buah kakao itu,” tambahnya.
Terhitung sejak
19 Oktober lalu, kasus pencurian kakao yang membelit nenek Minah itu telah
ditangani pihak Kejaksaan Negeri Purwokerto. Dia didakwa telah mengambil barang
milik orang lain tanpa izin. Yakni memetik tiga buah kakao seberat 3 kg
dari kebun milik PT Rumpun Sari Antan 4. Berapa kerugian atas pencurian itu? Rp
30.000 menurut jaksa, atau Rp 2.000 di pasaran!
Akibat
perbuatannya itu, nenek Minah dijerat pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, dengan ancaman hukuman enam bulan penjara. Karena ancaman hukumannya
hanya enam bulan, Minah pun tak perlu ditahan.
Dalam surat
pelimpahan berita acara pemeriksaan (BAP) yang dikeluarkan Kejari Purwokerto,
Minah dinyatakan sebagai tahanan rumah. Saat ini, Minah sudah menjalani
persidangan kedua di Pengadilan Negeri Purwokerto.
Kasus kriminal
yang menjerat Aminah bermula dari keinginannya menambah bibit kakao di rumahnya
pada bulan Agustus lalu. Dia mengaku sudah menanam 200 pohon kakao di kebunnya,
tapi dia merasa jumlah itu masih kurang, dan ingin menambahnya sedikit lagi.
Karena hanya ingin menambah sedikit, dia
memutuskan untuk mengambil buah kakao dari perkebunan kakao PT RSA 4 yang
berdekatan dengan kebunnya. Ketika itu dia mengaku memetik tiga buah kakao
matang, dan meninggalkannya di bawah pohon tersebut, karena akan memanen
kedelai di kebunnya.
Tarno alias
Nono, salah seorang mandor perkebunan PT RSA 4 yang sedang patroli kemudian
mengambil ketiga buah kakao tersebut. Menurut Minah, saat itu Nono sempat
bertanya kepada dirinya, siapa yang memetik ketiga buah kakao tersebut. “Lantas
saya jawab, saya yang memetiknya untuk dijadikan bibit,” katanya.
Mendengar
penjelasan tersebut, menurut Minah, Nono memperingatkannya bahwa kakao di
perkebunan PT RSA 4 dilarang dipetik warga. Peringatan itu juga telah dipasang
di depan jalan masuk kantor PT RSA 4, berupa petikan pasal 21 dan pasal 47
Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan. Kedua pasal itu antara
lain menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh merusak kebun maupun
menggunakan lahan kebun hingga menggangu produksi usaha perkebunen.
Minah yang buta
huruf ini pun mengamininya dan meminta maaf kepada Nono, serta
mempersilahkannya untuk membawa ketiga buah kakao itu. “Inggih dibeta mawon.
Inyong ora ngerti, nyuwun ngapura,” tutur Minah menirukan permohonan maafnya
kepada Nono, dengan meminta Nono untuk membawa ketiga buah kakao itu.
Ia tak pernah
membayangkan kalau kesalahan kecil yang sudah dimintakan maaf itu ternyata
berbuntut panjang, dan malah harus menyeretnya ke meja hijau.
Sekitar akhir bulan Agustus, Minah
terkaget-kaget karena dipanggil pihak Kepolisian Sektor Ajibarang untuk
dimintai keterangan terkait pemetikan tiga buah kakao tersebut. Bahkan
pada pertengahan Oktober berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejari Purwokerto.
Melukai rasa keadilan
Amanah (70), salah seorang kakak Minah,
mengaku prihatin dengan nasib adiknya. Apalagi penilaian jaksa yang disampaikan
dalam dakwaan dinilainya berlebihan, terutama untuk nilai kerugian.
Menurut dia,
satu kilogram kakao basah saat ini memang harganya sekitar Rp 7.500. Namun
kategori kakao basah itu adalah biji kakao yang telah dikerok dari buahnya,
bukan masih berada dalam buah. Namun di dalam dakwaan disebutkan nilai
kerugiannya Rp 30.000, atau Rp 10.000 per biji.
Padahal, dari
tiga buah kakao itu, kata Amanah, paling banyak didapat 3 ons biji kakao
basah. Jika dijual harganya hanya sekitar Rp 2.000. “Orang yang korupsi
miliaran dibiarkan saja. Tapi ini hanya memetik tiga buah kakao sampai dibuat
berkepanjangan,” kata Amanah membandingkan apa yang dialami adiknya dengan
berita-berita di tv yang sering dilihatnya.
Ahmad Firdaus, salah seorang anak Minah,
mengatakan, keluarganya kini sangat mengharapkan adanya rasa keadilan dalam
penyelesaian kasus orangtuanya. Menurutnya, hukum memang tak memiliki hati,
tetapi otoritas yang memegang aturan hukum pasti memiliki hati. “Kami hanya
berharap agar hakim dapat memberikan rasa keadilannya terhadap orang tua kami,”
jelasnya.
Hari Kamis
(19/11) ini, Minah akan hadir untuk membela dirinya, tanpa didampingi
pengacara. Sejak pertama kali menjalani persidangan, dia mengaku, tak pernah
didampingi pengacara. “Saya tidak tahu pengacara itu apa,” ucapnya.
Humas PN Purwokerto, Sudira, mengatakan,
majelis hakim yang menangani kasus Minah dipastikan sudah menawarkan pengacara
kepada Minah. “Hal itu sudah mutlak harus disampaikan hakim. Tapi kemungkinan
Ibu Minah sendiri yang menolak,” katanya.
Terkait keadilan, Sudira mengatakan,
akan sangat ditentukan oleh keputusan majelis hakim. Untuk itu, majelis hakim
akan menimbang seluruh fakta persidangan. “Hasilnya, akan sangat bergantung
pada pertimbangan majelis hakim,” katanya. Seluruh masyarakat tentunya sangat
berharap rasa keadilan itu ada, dan Ibu Aminah bisa kembali bekerja di kebunnya… (Madina
Nusrat)
Analisis
:
Kemiskinan merupakan hal yang menakutkan
bagi setiap orang. Karena kemiskinan dapat menjadi faktor pendorong bagi
seseorang untuk melakukan tindak kejahatan. Seperti contoh kasus diatas, yaitu
seorang nenek (Minah) memetik 3 biji kakao di perkebunan milik PT RSA tanpa
izin dari petugas, selain itu pihak PT telah menetapkan larangan bahwa warga
dilarang memetik kakao di atas tanah perkebunan tersebut, dikarenakan nenek
Minah buta huruf maka ia tidak mengetahui mengenai larangan tersebut. Menurut saya
pihak PT RSA terlalu cepat mengambil keputusan padahal nenek Minah sudah
mengembalikan kakao tersebut, si nenek pun juga telah mengakui kesalahannya.
Tanpa ada keraguan sedikitpun.
Namun sesuai
dengan peraturan hukum yang tercantum dalam KUHP maka perbuatan yang dilakukan
si nenek termasuk dalam pasal 362 tentang tindak pidana pencurian. Tetapi
berlebihan jika masa ancaman pidana penjara enam bulan. Karena menurut saya hal
itu bisa dibicarakan secara kekeluargaan. Mengapa demikian? Sebab si nenek
telah mengakui kesalahan, ia juga tidak berusaha mengelak dan melarikan diri.
Barang buktipun juga telah diambil oleh petugas PT tersebut. Saya merasa heran
dengan peraturan hukum yang cenderung tumpul keatas dan tajam ke bawah.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar